Sebagai pemuda (yang merasa) berpendidikan, gue sering berpikir bahwa orang yang ketipu via telepon adalah orang yang payah. Hingga akhirnya gue memvonis diri sendiri sebagai orang yang payah. Ya, baru-baru ini gue kena tipu via telepon dan habis duit lumayan banyak. Di sini gue ngerasa bahwa saat kita ketipu, bukan cuma materi aja yang hilang. Harga diri juga jatuh berantakan. Siapa sangka orang se-skeptis gue bisa aja kena jeratan tipu daya, via telepon pula.
Kejadian bermula beberapa hari yang lalu sekitar jam tujuh petang. Jam di mana orang-orang biasanya lagi lelah-lelahnya setelah perjalanan pulang dari kantor. Kebetulan juga gue pas itu baru pulang dan abis berkendara lumayan jauh. Gue bukan tipe orang yang suka ngangkat telepon dari nomor yang gak gue kenal. Tapi sore itu, entah kenapa gue lempeng aja ngangkat itu telepon. Soalnya gue kebetulan punya keluarga (om dan tante) yang nomornya suka ganti-ganti dan beberapa kali dikatain sombong pas ketemu gara gak pernah ngangkat telepon. Eh kebetulan, suara telepon di seberang sana persis banget sama suara om gue. Jadilah gue ladenin itu (orang yang ternyata) penipu.
Jebakan dimulai dengan pertanyaan "masa gak inget..." pas kita nanya dengan siapa kita bicara. Di sini gue belum ngeh dan gue jawab aja, "ini om xxx, kan?" Kemudian si pelaku intinya bercerita bahwa dia sedang bermasalah dengan polisi karena gak bawa surat-surat kendaraan. Si om gadungan minta tolong ke gue sebagai keluarga untuk yakinin polisi (yang ternyata) penipu bahwa surat-suratnya lengkap dan kendaraannya bukan kendaraan bodong. Di sini jebakan yang kedua. Polisi gadungan menanyai nama dan domisili gue sekaligus hubungan gue dengan si keluarga. Polisi berdalih bahwa kalau mau damai, om gue harus membayar Rp 700 ribu. Di situ, si om gadungan posisinya cuma ada duit Rp 100 ribu. Dan dengan polosnya gue mengiyakan untuk mentransfer sisanya via ATM yang masuk ke rekening TCASH pelaku. Pas itu gue sadar bahwa yang gue transfer gak masuk ke rekening Mabes POLRI. Tapi gue menganggap hal itu wajar karena namanya juga jalan damai (ini jelas salah, jangan ditiru ya.)
Setelah masalah gue anggap selesai, ternyata masih ada drama yang dimainkan pelaku. Polisi gadungan mengatakan bahwa om gue diserahi uang sebesar Rp 5 juta sekian yang katanya bakal dikasih ke gue dengan syarat gue harus transfer Rp 5 juta ke mereka. Alasan mereka waktu itu, ATM mereka sedang limit. Jika gue menolak, si om gadungan katanya bakal di penjara (gue gak inget detailnya, tapi si penipu menyangkut-pautkan dengan kasus narkoba), dan gue yang di awal cerita mengaku sebagai penjamin bakal terseret. Entah kenapa gue mau aja ngikutin alur cerita si pelaku. Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, gue nurut aja apa yang mereka arahin.
Gue disuruh ngisi pulsa untuk sembilan nomor berbeda sampai jumlah Rp 4,5 juta dengan dalih om gue bakal dianterin ke tempat gue dan gue bakal dikasih uang tunai yang tadi. Gue juga nurut aja perintah mereka untuk gak matiin telepon dengan alasan bahwa nomor telepon gue sudah disadap dan bisa dilacak keberadaan gue. Singkat cerita, gue kehabisan duit sekitar Rp 7 juta buat ngeladenin penipu itu. Drama berlangsung sekitar tiga jam lebih dan gue udah pasrah kelelahan dan kehabisan duit. Gue tutup telepon mereka (di sini gue masih percaya bahwa mereka bisa ngelacak posisi gue) dan nyalain airplane mode. Gue yang selama tiga jam terlunta-lunta di jalan (jalan dari minimarket satu ke minimarket lainnya buat beli pulsa) akhirnya pulang dengan keadaan lemes.
Bersambung ke Part II.
Cheers!
Cheers!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar