Tiongkok merupakan negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di Asia. Hal ini
tentunya sudah tidak dapat dipungkiri lagi. Berbagai komoditas yang ada di
sekitar kita sebagian besar berasal dari negeri tirai bambu ini. Sebut saja berbagai merek seperti Lenovo, Huawei, Xiaomi,
Oppo, Wuling dan Alibaba. Selain merek lokal tersebut, berbagai produk terkenal
asal Amerika Serikat pun diproduksi secara masal di Tiongkok. Tidak berlebihan
tentunya jika banyak ekonom yang memprediksikan Tiongkok sebagai peringkat pertama ekonomi dunia di masa yang akan
datang.
Pada tahun 2017, dari total estimasi Pendapatan Domestik Bruto (PDB) global
sebesar $80 triliun, Tiongkok berkontribusi sebesar US$12,24 triliun atau
sekitar 15,4 persen. Tiongkok hanya kalah dari Amerika Serikat yang nyaman di
peringkat pertama dengan angka US$19,39 triliun atau sekitar 24,4 persen PDB
global. Namun, jika kita melihat dari kacamata Purchasing Power Parity (PPP), Tiongkok sejatinya telah menjadi top
dunia sejak tahun 2016. PPP sendiri merupakan ukuran yang digunakan untuk mengetahui
seberapa banyak sebuah mata uang dapat digunakan untuk membeli dalam pengukuran
internasional (biasanya dolar). Hal ini lumrah karena barang dan jasa memiliki
harga yang berbeda di tiap-tiap negara.
Gambaran porsi kontribusi masing-masing negara dalam PDB global tahun 2017 |
Hegemoni Tiongkok dalam perekonomian dunia mulai terlihat sejak Presiden
Tiongkok, Xi Jinping berambisi untuk menghubungkan negaranya dengan
negara-negara lain di Benua Asia, Afrika, hingga Eropa. BRI – Belt and Road Initiative, merupakan
proyek yang diperkenalkan pada tahun 2013 oleh Xi. Proyek ini dicanangkan untuk
menghubungkan Benua Asia dengan Afrika dan Eropa melalui jalur darat dan laut,
untuk meningkatkan perdagangan dan pertumbuhan ekonomi. Xi terinspirasi dari
konsep jalur sutera (silk road) pada
masa pemerintahan Dinasti Han, di mana 2000 tahun yang lalu berhasil menghubungkan
Tiongkok dengan daerah Mediterania melalui Eropa. Pada awalnya, BRI dikenal
sebagai OBOR – One Belt One Road.
Namun, sejak tahun 2016 namanya diganti menjadi BRI berhubung banyak yang salah
memersepsikan kata “one” dalam OBOR.
Sesuai namanya, BRI terdiri dari dua komponen, belt dan road. Belt yang diberi nama Silk Road Economic Belt (SREB) menghubungkan
Tiongkok dengan Asia Tengah, Asia Selatan, dan Eropa melalui jalur darat.
Sedangkan, Road merupakan rute lautan
yang menghubungkan Tiongkok dengan negara-negara di Asia Tenggara, Oceania,
Afrika, hingga Eropa. Rute ini dinamakan 21st
Century Maritime Silk Road. Terdapat enam koridor utama dalam BRI, yaitu:
China-Mongolia-Russia Economic Corridor (CMREC); New Eurasian Land Bridge
(NELB); China-Central and West Asia Economic Corridor (CICPEC); China-Pakistan
Economic Corridor (CPEC); dan Bangladesh-China-India-Myanmar Economic Corridor
(BCIMEC).
Belt dan Road dalam BRI |
Hingga hari ini, sudah ada 126 negara dan 29 organisasi internasional yang
menandatangani perjanjian kerja sama BRI dengan Tiongkok. Inisiatif ini
bertujuan untuk menguatkan jaringan perdagangan, infrastruktur, dan investasi
antara Tiongkok dengan negara-negara partisipan lainnya. BRI diperkirakan akan
melibatkan 65 persen dari populasi dunia serta sekitar 30 persen dari GDP
global. Program ini diperkirakan akan melibatkan investasi lebih dari US$1
triliun, terutama dalam pengembangan infrastruktur seperti pelabuhan,
jalan raya, rel kereta api, dan bandara, di samping jaringan telekomunikasi dan pembangkit listrik.
Dalam praktiknya, negara-negara partisipan BRI disuntikan dana investasi
oleh Tiongkok melalui Silk Road Fund hingga Asian Infrastructur Investment
Bank. Dana-dana segar ini digunakan untuk membangun jaringan kereta cepat di
Kenya hingga pembangunan bandara internasional baru di Sri Lanka. Indonesia
sendiri tidak mau ketinggalan. Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang sebelumnya telah melalui studi
kelayakan oleh Pemerintah Jepang, pada akhirnya digarap oleh Tiongkok setelah
berhasil memberikan tawaran yang lebih menarik daripada yang Jepang berikan.
Pemerintah Indonesia juga menawarkan investasi untuk membangun empat pembangkit
listrik tenaga uap (PLTU) yang berada di Kalimantan dan Bali. Penawaran ini
sendiri juga terkait dengan janji politik Presiden RI, Joko Widodo dalam proyek
pembangkit listrik sebesar 35.000 MW.
Die-cast kereta cepat yang akan menghubungkan Jakarta - Bandung |
Xi Jinping dalam berbagai kesempatan selalu membela konsep BRI yang diamininya sejak awal. Ia menolak jika BRI dikatakan sebagai salah satu bentuk kolonialisme baru. Xi mengatakan bahwa BRI merupakan suatu inisiatif untuk melakukan pembangunan demi kemakmuran bersama. Tiongkok siap untuk membagi pengalamannya dalam pembangunan kepada negara-negara lain, tanpa ikut campur mengenai masalah internal di negara tersebut. Xi mempromosikan lima area utama dalam BRI, yaitu: koordinasi kebijakan, konektivitas infrastruktur, perdagangan, keuangan, dan pertukaran orang-ke-orang.
Xi Jinping bersama Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla dalam KTT BRI di Tiongkok |
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan sebagai
penanggung jawab investasi Tiongkok yang saat ini sedang dibicarakan dalam
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRI, mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia menolak opsi G to G. Pemerintah hanya membuka opsi business to business (B to B). Dengan
skema B to B, investasi hanya melibatkan perusahaan dengan perusahaan. Skema
ini dipilih agar tidak terjadi penguasaan aset negara oleh perusahaan Tiongkok
jika terjadi gagal bayar. Skema ini pula yang digunakan Indonesia saat
bernegosiasi dengan Tiongkok dalam pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung.
Harus kita amini bahwa sebagai negara berkembang, Indonesia sangat
membutuhkan suntikan dana investasi untuk mempercepat pembangunan. Pembangunan infrastruktur seperti jalan raya, rel kereta api, dan pelabuhan yang terlambat berisiko mempengaruhi laju perekonomian Indonesia. BRI terlihat seperti anugerah yang diturunkan oleh Tuhan untuk Indonesia saat ini. Pemerintah tentunya tetap harus berhati-hati dan menjadikan pengalaman Sri Lanka, Kenya, dan Pakistan sebagai
pelajaran, agar aset-aset strategis negara tidak sampai jatuh ke tangan asing.
Kontrak perjanjian antara Indonesia dengan Tiongkok dalam BRI seyogyanya membawa keuntungan bagi kedua belah pihak. Paling tidak, defisit neraca perdagangan antara Indonesia dengan Tiongkok dapat dikurangi. Selain itu, konsep ramah lingkungan dalam pembangunan infrastruktur juga tetap wajib diutamakan. Pembangkit listrik energi baru dan terbarukan sudah sepatutnya menjadi pertimbangan pemerintah Indonesia, mengingat banyaknya eksternalisasi negatif yang ditimbulkan dari PLTU dan tambang batu bara sebagai bahan bakarnya. Bagaimana pendapat kalian mengenai BRI beserta dampaknya bagi Indonesia? Sampaikan di kolom komentar ya!
Kontrak perjanjian antara Indonesia dengan Tiongkok dalam BRI seyogyanya membawa keuntungan bagi kedua belah pihak. Paling tidak, defisit neraca perdagangan antara Indonesia dengan Tiongkok dapat dikurangi. Selain itu, konsep ramah lingkungan dalam pembangunan infrastruktur juga tetap wajib diutamakan. Pembangkit listrik energi baru dan terbarukan sudah sepatutnya menjadi pertimbangan pemerintah Indonesia, mengingat banyaknya eksternalisasi negatif yang ditimbulkan dari PLTU dan tambang batu bara sebagai bahan bakarnya. Bagaimana pendapat kalian mengenai BRI beserta dampaknya bagi Indonesia? Sampaikan di kolom komentar ya!
Cheers!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar