May (Raihaanun), seorang siswi SMP berusia 14 tahun tampak riang berkeliling pasar malam dari satu stan ke stan lainnya. Dengan seragam sekolah masih melekat di badannya, ia lalu berjalan pulang lengkap dengan sebuah balon dan boneka hasil petualangannya di pasar malam. Senyum di wajahnya berubah menjadi rasa penasaran ketika di suatu sudut jalan ia menemukan sebuah benda bersinar di tanah. Tertarik, May mendekati benda itu dan mengamatinya dari dekat. Sekejap saja, ekspresi riang May lenyap. Ia dirudapaksa oleh sekelompok pemuda. Tak ada yang bisa May lakukan selain menangis dan meronta. Puas dengan syahwatnya, pemuda-pemuda tadi melepaskan May pulang dengan tatapan kosong.
Delapan tahun berlalu. May yang hanya hidup berdua dengan sang bapak (Lukman
Sardi) menjalani hari-hari dengan satu rutinitas yang sama. May selalu
mengawali hari dengan menyetrika bajunya secara teliti, sebelum membuka pintu
kamarnya dan menerima seplastik penuh boneka dari bapak untuk ia dandani.
Boneka-boneka yang telah selesai didandani dan dikemas, diserahkan ke bapak untuk dijual melalui seorang teman. Rutinitas ini berjalan setiap hari seperti kaset
yang diputar berulang. May membutuhkan rutinitas ini untuk menghilangkan trauma
dari ingatannya. Sesekali ingatan akan trauma itu muncul dan membuat May berulang kali menyilet nadinya sebagai percobaan untuk mengakhiri hidup, walaupun tidak pernah berhasil.
Bapak May terlihat selalu sabar menghadapi sikap May yang pendiam dan
menutup diri dari dunia luar. Sang bapak tampak begitu lembut memahami May dan
berusaha untuk tidak mengusik dunianya. Bagaimana pun juga, ia tetaplah seorang ayah. Dalam hatinya, sang bapak begitu terpukul dan dihantui rasa bersalah tidak
dapat melindungi putri semata wayangnya. Amarah sang bapak diluapkan di arena
perkelahian. Uang dan pujian bukanlah yang ia cari, meskipun kemenangan selalu
ada di tangannya. Baginya, arena perkelahian adalah satu-satunya cara untuk melupakan
sejenak kegagalannya sebagai seorang ayah.
Sosok Bapak yang senantiasa sabar mendampingi May |
Kehidupan May mulai berubah ketika seorang pesulap (Ario Bayu) pindah ke
sebelah rumah May. Kamar May dan sang pesulap hanya dibatasi oleh sebuah dinding.
Tak lama, May dan sang pesulap menjadi teman dan berkomunikasi melalui lubang
di dinding yang kian hari kian membesar. Pertemanannya dengan sang pesulap
membuat May perlahan berubah. Diawali dengan mendandani boneka menjadi sosok
pesulap dari yang sebelumnya selalu merupakan sosok seorang putri. May juga
mulai mau memakan masakan selain yang berwarna putih. Hingga akhirnya, May berani
membuka diri, melangkah menuju sang bapak, dan memeluknya. “Ini bukan salah bapak...”
ujarnya, diiringi tangis haru sang bapak.
Sang Pesulap yang perlahan membuka pribadi May |
Rayya Makarim, sang penulis naskah, awalnya hendak mengangkat kasus
perkosaan massal tahun 1998 (pasca lengsernya orde baru) sebagai inspirasi film.
Menghindari isu politis, ia dan Ravi Bharwani, sang sutradara, akhirnya sepakat
memilih untuk membuat film yang lebih personal, menceritakan hubungan ayah dan
anak. Meski minim dialog, film berdurasi 112 menit ini tidak terkesan
membosankan. Sebaliknya, penonton dibawa untuk menginterpretasi dan merasakan perjuangan
May melawan trauma melalui akting Raihaanun dan sang aktris sukses memainkan
perannya dengan baik.
Isu kekerasan seksual terhadap wanita di Indonesia memang masih tampak sebagai
hal yang tabu. Perilaku patriarki masih kental di masyarakat kita, dengan
menyudutkan wanita sebagai penyebab utama terjadinya kekerasan seksual itu
sendiri. Entah sudah berapa banyak pernyataan kaum adam yang menyalahkan pakaian
korban sebagai penyebab utama timbulnya niat untuk melakukan tindak kekerasan seksual.
Dibanding mendukung, tak sedikit pula kaum hawa yang turut menyudutkan korban,
baik dari cara berpakaian maupun cara bergaulnya. Tidak heran tampaknya jika
sebagian besar korban kekerasan seksual memilih untuk bungkam dan memendam rasa
traumanya. Mengakhiri hidup pun dirasa lebih baik ketimbang dicap sebagai “cewek gak bener” oleh masyarakat.
Menyalahkan cara berpakaian wanita sebagai pembenaran untuk melakukan perkosaan
sama saja dengan membenarkan pencurian terhadap rumah yang tidak terkunci.
Apakah bijak jika kita menyalahkan korban pencurian semata-mata karena ia tidak
mengunci rumahnya? Masyarakat kita cenderung lebih suka menyudutkan korban
dibanding meluruskan pandangan bahwa kejahatan timbul karena pelaku tersebut
memang jahat. Orang yang bersih nuraninya tentu tidak akan melakukan kejahatan,
walaupun kesempatan untuk melakukan kejahatan tersebut terbuka lebar. Lucu
rasanya ketika masyarakat kita begitu marah dengan perilaku para koruptor yang
memanfaatkan kesempatan untuk mencuri uang rakyat, namun memaklumi pelaku
rudapaksa yang beralasan bahwa pakaian korbanlah yang memicu niat jahat mereka.
Kenapa mereka tidak menyalahkan korban, yaitu diri mereka sendiri yang memilih para
pejabat-pejabat tadi untuk duduk di singgasana kekuasaan?
“There are wounds that never show on the body that are deeper and more hurtful than anything that bleeds.” ― Mistral's Kiss
Masih banyak May lainnya di luar sana yang berjuang melawan trauma dan pandangan negatif dari masyarakat. Budaya menyalahkan korban sebagai biang keladi penyebab maraknya kekerasan seksual sudah semestinya dihentikan. Kesadaran ini sebaiknya terlebih dahulu kita tanamkan dalam diri kita masing-masing. Yang tidak kalah penting adalah menciptakan lingkungan yang suportif bagi korban. Menjadi kewajiban bagi orang-orang terdekat korban untuk senantiasa mendukung korban melawan rasa traumanya. Jika kita merasa tidak mampu menjadi sosok yang meringankan trauma, ada baiknya kita tidak perlu menjadi sosok yang memperparah trauma tersebut. Bagi kalian para penyandang trauma kekerasan seksual yang masih bertahan sampai saat ini, kalian luar biasa. Semoga film ini mampu membuka mata kaum patriarki dalam memandang kasus kekerasan seksual yang terjadi di sekitar, juga menguatkan mereka yang sedang berjuang melawan trauma akibat kekerasan seksual.
Cheers!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar