Jagat Twitter masih ramai seperti biasanya, thread KKN horror,
perang keyboard antar selebtwit, hingga tweet menfess bergantian
seliweran di lini masa saya. Tidak ada yang istimewa, begitu pikir saya.
Berita-berita yang tampil di media masa mainstream seperti Kompas dan
Detik masih memberitakan seputar tindak kriminal di sekitar ibukota, proses
pemilihan pimpinan KPK, hingga kisruh yang terjadi di Papua. Sampai satu dua tweet
Tirto mengenai Livi Zheng sedikit menggelitik saya untuk membukanya. Pun
demikian, artikel-artikel Tirto tadi tidak langsung menggerakkan jari saya
untuk meng-klik tautan yang disertakan. Saya lebih memilih untuk lanjut membaca
harian The Jakarta Post langganan saya.
Tweet mengenai Livi Zheng agaknya makin sering muncul di lini masa saya. Kali
ini artikel dari Geotimes dengan judul Meneliti Livi Zheng semakin menumbuhkan rasa penasaran saya. Menunggu
telepon yang tidak kunjung tiba di malam hari, akhirnya saya putuskan untuk
membunuh waktu dengan menelisik lebih dalam (si)apa itu Livi Zheng. Jujur saja,
saya tidak pernah mendengar tentang Livi Zheng sebelumnya. Kalian juga mungkin
belum pernah mendengarnya, bukan? Padahal Livi Zheng sempat ‘mengharumkan’ nama
Indonesia melalui ‘prestasi’-nya di tahun 2014 dan 2015 silam. Sudah punya
petunjuk? Masih belum? Jangan khawatir. Saya pun tidak akan ngeh sebelum
membaca artikel-artikel dari Tirto featuring Asumsi dan Geotimes.
Livi Zheng ternyata tak lain merupakan (so called) sutradara (merangkap produser dan aktris). Ia mengawali
kariernya sebagai stuntwoman pada serial TV Laksamana Cheng Ho yang
diperankan oleh politikus ternama, Yusril Ihza Mahendra. Serial ini sempat
tayang di salah satu TV swasta, namun pun akhirnya dihentikan karena sepi
peminat. Gagal sebagai stuntwoman tidak membuat Livi patah semangat.
Beberapa tahun kemudian, serial Laksamana Cheng Ho diangkat ke layar lebar
dengan judul The Empire’s Throne (2013) dan Legend of the East (2014) dengan Livi sebagai produsernya
(sekaligus bintang dan model pada poster film). Film pertama memperoleh rating
lumayan di IMDB dengan mencatat skor 6.0/10. Bahkan, di tahun 2014 film Legend
of the East meraih dua penghargaan dalam ajang Madrid International Film
Festival di mana Yusril Ihza Mahendra sebagai pemeran utama pria terbaik dan Wang
Hui Qian sebagai pemeran pembantu wanita terbaik.
Lucu sekali dia, Yang Mulia! |
Tak cukup sampai di situ, Livi Zheng mencoba menembus kerasnya dinding
Hollywood dengan film berjudul Brush with Danger
(2015). Film ini dikatakan pada akhirnya mampu masuk dalam nominasi Oscar
setelah mengalami 32 kali penolakan dari rumah produksi. Adalah Sun and Moon Films LLC yang hadir sebagai penyelamat untuk mensponsori
film ini. Kabar mengenai film karya anak bangsa yang berhasil menembus nominasi
Oscar tentu saja menumbuhkan euphoria di negeri kita. Hal ini pun
diamini oleh media masa mainstream yang mengelu-elukan nama Livi Zheng.
Sebut saja Kompas, Jawa Pos, Tempo, hingga The Jakarta Post. Film ini diproduksi oleh Livi, disutradarai oleh
Livi, dan juga dibintangi oleh Livi.
Dengan prestasi-prestasi yang dimiliki, sudah sepantasnya kita menjunjung
tinggi nama Livi Zheng yang sudah mengharumkan nama Indonesia di mata dunia.
Masalahnya, apakah klaim-klaim prestasi di atas sepenuhnya benar? Setelah
menelusur artikel-artikel di atas, saya sampai pada satu kesimpulan. Livi Zheng
adalah seorang yang halu dan haus akan pengakuan atas prestasinya yang
sebenarnya tidak ada. Dua penghargaan di Madrid International Film Festival
hanyalah omong kosong belaka. Nyatanya, ajang tersebut merupakan pseudo-festival alias festival fiktif. Membaca komentar
Yusril Ihza Mahendra saat dikonfirmasi mengenai kemenangannya 2014 silam
membuat saya tertawa sendiri. "Ya biasalah. Orang biasanya di kampung sendiri tidak begitu dihargai, tapi ditempat lain dihargai, itu biasa,"
Lantas bagaimana dengan klaim nominasi Oscar oleh Livi? Hal tersebut tidak
salah, namun tidak benar sepenuhnya juga. Faktanya, film Brush with Danger
milik Livi memang berhasil masuk nominasi Oscar, dalam hal persyaratan
administrasi. Ibaratnya ketika kita mendaftar AKPOL dan kita lulus tahap
seleksi administrasi. Apakah kita masuk dalam daftar calon taruna? Jelas. Lolos
seleksi selanjutnya? Belum tentu. Bagaimana pun juga, kita harus tetap
mengapresiasi Livi karena usahanya untuk bisa memutar film karyanya di bioskop-bioskop
sekitar Amerika sebagai salah satu prasyarat administratif masuk nominasi Oscar.
Beruntungnya Livi disokong oleh kekuatan dana dari orang tuanya. Toh ternyata rumah
produksi Sun and Moon Films LLC yang mensponsori film tersebut merupakan perusahaan
bentukan ibunda Livi Zheng.
Poster film Karya Anak Bangsa |
Livi Zheng sama sekali tidak bisa berakting. Ia juga tidak memiliki jiwa
kepemimpinan saat mensutradarai film-filmnya. Namun mengapa masih ada kru-kru
yang mau bekerja sama dengannya? Bayarannya besar. Jika kita membaca transkrip wawancara
Livi Zheng dengan Aulia Adam (Tirto) dan Dea Anugrah (Asumsi), cukup terlihat
bagaimana kapasitas seorang Livi Zheng. Jawaban-jawaban dari seorang Livi
sebagian besar seperti jawaban formalitas yang tidak ada bobotnya. Cukup
mengejutkan ketika Livi mengatakan bahwa ia tidak mengenal Joko Anwar, salah
satu sutradara kenamaan di Indonesia.
Saat ini, salah satu film Livi yang berjudul Bali: Beats of Paradise (2018) sedang tayang di jaringan bioskop XXI. Film yang
berdurasi 56 menit ini menceritakan tentang kisah I Nyoman Wenten, seorang putra
daerah Bali yang mengajarkan kesenian gamelan di tanah Amerika. Terlihat cukup
menarik sebagai film dokumenter, jika dan hanya jika Livi tidak secara narsis
tampil melulu di film tersebut. Durasi 56 menit itu pun sudah termasuk
potongan-potongan sambutan dari Bapak Kapolri Tito Karnavian dan Bapak Wakil
Presiden RI Jusuf Kala yang pada intinya mengajak kita untuk menyaksikan film
karya anak bangsa yang berprestasi ini. Jika terbersit di pikiran kalian untuk
menyaksikan film kebanggaan masyarakat Indonesia ini, ada baiknya kalian
menyaksikan review film tersebut oleh Cine Crib di bawah ini.
Livi Zheng bisa jadi merupakan ‘American Dream’-nya para sutradara kenamaan
tanah air. Dukungan moral dan dana dari penguasa Kemayoran ini membuat Livi,
walaupun dengan bakat yang biasa-biasa saja, berhasil seliweran di layar lebar
Amerika Serikat. Apakah Livi tidak bisa sukses menjadi sutradara kenamaan? Saya
yakin dia bisa. Selain umurnya yang masih terbilang muda, 30 tahun, Livi juga
didukung secara finansial oleh orang tuanya. Hal ini mengingatkan saya pada
suatu penelitian yang kurang lebihnya mengatakan bahwa ada kemungkinan 70%
seseorang untuk sukses, walaupun ia bodoh, ketika ia lahir di keluarga yang
kaya raya. Miris? Memang. Makanya jangan miskin! Bagi kalian yang ingin berbagi
saran, kritikan, ataupun sekedar ingin mengolok-olok kehaluan Livi, silakan curahkan
di kolom komentar di bawah ini.
Cheers!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar