Hampir sebagian besar dari kita pasti pernah berbelanja secara online,
baik itu melalui situs e-commerce seperti Tokopedia, Shopee, Lazada, dan
sebagainya maupun melalui platform media sosial seperti FJB Kaskus Instagram.
Berbagai motivasi dapat digunakan oleh seseorang untuk melakukan kegiatan belanja
online, sebut saja faktor keluwesan, kepraktisan, hingga harga yang biasanya jauh atau
(jika tidak) cukup miring dibanding dengan toko offline. Ditambah
lagi, situs jual beli daring biasanya menawarkan promo menarik di
tanggal-tanggal tertentu, sampai-sampai pernah ada pegawai agen jasa ekspedisi
yang mengeluh di Twitter karena sampai harus tidak tidur demi menyortir paket-paket
yang berdatangan dengan binalnya.
Situs jual beli daring dapat diibaratkan seperti sebuah mall atau
pusat perbelanjaan, di mana terdapat banyak toko atau tenant yang
menjajakan barang dagangannya. Satu lagi keunggulan berbelanja melalui situs e-commerce
adalah pembeli tak hanya dapat memilih produk dari berbagai macam toko yang ada
di Indonesia, namun juga toko yang ada di luar negeri. Secara teknis, tidak ada
perbedaan antara berbelanja dari toko dalam negeri dengan toko luar negeri.
Namun, merujuk Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan
atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, barang yang dimasukkan
ke dalam daerah pabean diperlakukan sebagai barang impor dan terutang bea masuk
(dan pajak dalam rangka impor).
Daerah Pabean merupakan wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-undang Kepabeanan.
Oke. Mungkin beberapa istilah tadi terdengar sedikit asing di telinga kalian. Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-undang yang sama, Daerah Pabean merupakan wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-undang Kepabeanan. Singkatnya, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan Daerah Pabean. Sedangkan merujuk Pasal 1 angka 13 Undang-undang Kepabeanan, Impor merupakan kegiatan memasukkan barang ke dalam Daerah Pabean. Dari sini dapat kita tarik kesimpulan, ketika kita membeli barang dari luar negeri secara online, kita telah melakukan proses importasi barang. Oleh karena itu, muncullah kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi terkait kegiatan tersebut.
Pra akhir tahun 2018, Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
(DJBC) menetapkan allowance sebesar USD100 untuk setiap invoice
barang kiriman. Artinya, jika barang yang kita beli secara online nilainya
kurang dari USD100, kita tidak perlu membayar Bea Masuk (BM) dan Pajak Dalam
Rangka Impor (PDRI). Ketika nilai invoice kita lebih besar dari USD100,
katakanlah USD150, atas USD100 tadi dibebaskan dari kewajiban BM dan PDRI,
sehingga BM dan PDRI yang terutang dihitung dari nilai selisihnya yaitu USD50.
Namun, sejak Oktober 2018 DJBC menurunkan nilai allowance menjadi sebesar USD75. Tak hanya itu, sejak aturan tersebut diberlakukan, setiap invoice
yang melebihi USD75 langsung terutang BM dan PDRI. Artinya, ketika barang yang
kita beli nilainya USD80, bukan USD5 saja yang menjadi dasar perhitungan BM dan
PDRI, melainkan keseluruhan total invoice tersebut.
Baru-baru ini, DJBC kembali menurunkan angka allowance untuk barang
kiriman. Tidak tanggung-tanggung, allowance yang sebelumnya sebesar USD75
diturunkan menjadi hanya USD3 saja. Jika dirupiahkan menggunakan kurs saat ini
(USD1 = Rp 14.000), batasan yang dulunya sebesar Rp 1.050.000 turun menjadi
hanya Rp 42.000 saja. Apa yang menjadi alasan Pemerintah menurunkan batasan tersebut
secara ekstrem? Jawabannya ada di ujung langit adalah semata-mata untuk
melindungi pasar dalam negeri. Ya, banjirnya barang luar negeri yang semakin
mudah untuk didapatkan membuat banyak industri dalam negeri terpaksa gulung
tikar karena tidak mampu bersaing.
Heru Pambudi, Direktur Jenderal Bea dan Cukai |
Menurut data dari DJBC, terdapat lonjakan barang kiriman dari luar negeri dari
yang sebelumnya sebesar 19,57 juta paket di tahun 2018 menjadi 49,69 juta paket
pada tahun 2019. Selain usaha-usaha kecil menengah (UKM), industri-industri yang
telah berbadan hukum legal juga terdampak lonjakan impor ini, terutama untuk
komoditi tas, sepatu, dan tekstil. Jika dilihat dari kacamata yang lebih luas, efek
lonjakan impor barang kiriman ini berisiko memunculkan gelombang PHK bagi
industri-industri terdampak tadi. Efek yang tentunya lebih ingin dihindari oleh
Pemerintah dan tentunya (secara rasional) kita semua.
Lantas bagaimana tarif dan penghitungan BM dan PDRI untuk barang kiriman
itu sendiri? Untuk BM sendiri, tarifnya tetap yaitu 7,5 persen. Untuk komponen
PDRI sendiri terdapat perubahan, di mana untuk aturan baru ini PPh impor Pasal
22 tidak dikenakan sehingga pembeli hanya cukup membayar PPN sebesar 10 persen.
Sebelumnya, pembeli dikenakan PPh sebesar 10 persen bagi mereka yang memiliki
NPWP dan 20 persen bagi mereka yang tidak memiliki NPWP. Jadi, walaupun
terdapat penurunan batasan minimum pengenaan pajak, tarif pajak yang dikenakan
terhadap barang impor juga turun dari sekitar 27,5 – 37,5 persen menjadi 17,5
persen saja.
Terdapat sedikit perbedaan terhadap barang kiriman berupa tas, sepatu, dan
tekstil. Khusus untuk ketiga produk tadi, BM ditetapkan sebesar 15 – 20 persen
untuk produk tas, 25 – 30 persen untuk produk sepatu, dan 15 – 25 persen untuk
produk tekstil. PPh impor atas ketiga produk tadi ditetapkan 7,5 – 10 persen,
sedangkan tarif PPN tetap 10 persen. Juga terdapat sedikit perubahan mengenai
PPN, di mana semua barang, baik di bawah USD3 maupun melebihi USD3 tetap
terutang PPN 10 persen. Pengenaan tarif ini sendiri ditujukan agar industri
dalam negeri tetap bisa bersaing.
Lantas, bagaimana cara menghitung pajak yang harus dibayar ketika kita
melakukan belanja online dari luar negeri? Sebenarnya kalian bisa dengan
mudah menghitungnya menggunakan Duty Calculator yang terdapat pada
aplikasi Mobile Beacukai. Namun, untuk lebih memahami konsep penghitungan BM dan PDRI,
kalian dapat melihatnya di info grafis berikut.
Ilustrasi Penghitungan BM dan PDRI untuk barang kiriman |
Keputusan Pemerintah menurunkan ambang batas pembebasan impor barang kiriman
tentunya menimbulkan pro dan kontra. Banyak kecaman timbul dari pihak-pihak
yang biasa melakukan belanja online langsung dari negara produsennya,
sebut saja Tiongkok dan Korea. Kontras dengan produsen dalam negeri yang
menyambut baik kebijakan ini, terutama yang bahan bakunya seratus persen
tersedia di dalam negeri. Sebagai warga negara, kita tentunya harus bijak dalam
menyikapi polemik tersebut. Tidak etis rasanya jika kita mencap Pemerintah sebagai
rezim yang menindas rakyat kecil, padahal tindakan ini juga semata-mata untuk
menyelamatkan industri yang sudah tersedia di dalam negeri. Jika barang-barang
yang kita perlukan sudah tersedia di dalam negeri, kenapa mesti impor? Bagikan
pendapat kalian di kolom komentar, ya!
Cheers!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar